SIOMAY
Setiap hari, sebelum anakku bangun, aku sudah harus berada di dapurku yang sempit menyiapkan semua bahan-bahan untuk kubuat siomay. Ya, aku memang hanya bisa meneruskan usaha yang orang tuaku wariskan. Tidak ada harta berlimpah atau sebidang tanah. Hanya sebuah rumah kecil dan keahlian membuat siomay saja yang kumiliki tapi hal itu sungguh aku syukuri. Namun ketika istriku meninggal karena sakit, aku merasa beban hidup ini begitu berat, karena Maximus, anak kami baru saja berusia 7 tahun.
Setiap pagi saat mengantar Maxi ke sekolah dengan sepeda tuaku, aku lalui sambil menitipkan siomay ke kios-kios yang kulewati. Siangnya sambil menjemput Maxi pulang sekolah, aku ambil semua siomay yang tersisa dan uang hasil penjualan siomay hari itu. Ketika daganganku habis, senang rasanya karena aku dapat menyisihkan uang walau sedikit untuk tabungan sekolah Maxi. Namanya juga jualan, kadang habis kadang tersisa banyak, namun aku berusaha untuk tetap semangat.
Satu-satunya semangatku adalah Maxi, ia harus sekolah yang tinggi agar hidupnya bisa lebih baik. Aku selalu berdoa agar kelak ia berhasil mewujudkan cita-citanya, yaitu menjadi dokter. Seperti yang sering ia katakan ketika kami melewati gang kecil menuju ke rumah. “Paa...aku ingin mainan dokter-dokteran ini...!” katanya memelas. Namun karena harga mainan itu cukup mahal, aku tidak bisa langsung membelikanya. Semakin hari setiap kali melewati tukang mainan itu, ia menangis semakin keras.
Rasanya aku sudah menghancurkan kebahagiaannya, ketika aku melihat ia meneteskan air mata karena aku tidak mampu membelikan mainan itu untuknya. Aku ingin ia selalu bahagia, namun dengan segala keterbatasanku, aku harus menahan semua kepedihan itu. Yang bisa kulakukan hanya memeluknya, memberinya pengertian bahwa satu hari nanti mainan itu pasti ia dapatkan. Puji Tuhan, dua bulan kemudian aku baru sanggup membelikannya. Melihat matanya berbinar saat memegang mainan itu untuk pertama kalinya aku sangat bersyukur dan bahagia.
* * * * *
11 September tahun 2010 ini, 30 tahun sudah usia Maximus. Aku dan istriku memberinya nama Maximus karena kami ingin ia tumbuh menjadi seorang yang kuat, bisa menjadi berkat untuk orang banyak dan takut akan Tuhan. Kini ia sudah berhasil menjadi seorang dokter. Bukan hanya karena usahaku, tapi karena ketekunannya belajar sambil bekerja paruh waktu selagi ia duduk di bangku SMP sampai kuliah. Ia memang tumbuh menjadi laki-laki yang kuat dan penuh semangat.
Sejak 5 tahun lalu, ia memintaku untuk berhenti berjualan siomay dan aku turuti karena aku juga ingin punya banyak waktu untuk bersama dengan anakku. Namun semakin hari ia semakin sibuk. Apalagi setelah ia menikah, kemudian ia pindah ke rumahnya yang baru. Pernah ia mengajakku untuk tinggal bersamanya. Tapi berat rasanya bagiku untuk meninggalkan rumah dimana pernah kulewati berbagai macam kenangan.
Ketidakhadirannya dalam rumah ini digantikan oleh kiriman uang setiap bulan. Dalam kondisiku seperti sekarang, aku sadar bahwa aku sudah tidak mungkin bisa menghasilkan uang lagi. Aku sudah mulai sering sakit-sakitan, hingga Maxi mengirimkan seorang perawat rumah tangga untuk menjagaku. “Inikah yang kucari selama ini?” sebuah pertanyaan besar selalu mengiang dalam pikiranku ketika malam tiba, saat aku tidak bisa memejamkan mata.
“Jadi...kapan kamu pulang?” tanyaku ketika akhirnya aku berhasil menghubunginya. “Iya, Pah...nanti Maxi mampir ke rumah Papa yah, tapi engga bisa minggu ini. Masih banyak kerjaan Pah,” katanya terdengar seperti tergesa-gesa. “Nanti teleponnya disambung lagi ya Pah, ada pasien gawat yang harus ditangani,” kemudian terdengar bunyi telepon terputus. “Maxi...Maxi...!” aku memanggil namanya berulang-ulang namun tidak ada jawaban.
Kini yang kurasakan hanya sepi, sesepi suasana di rumah ini. Kadang aku berpikir, “apakah orang lain seusiaku juga merasakan dan mengalami hal yang sama?” Aku hanya mampu membolak-balik album foto yang warnanya sudah mulai pudar. Namun setiap kali melihat senyum Maxi kecil saat berfoto bersama aku dan istriku di depan rumah tua ini, dalam kesepianku, aku bisa tersenyum bahagia.
* * * * *
Di sudut lain, di depan poliklinik, sebuah sedan hitam mengambil posisi parkir tepat di tengah papan kecil bertuliskan dr. Maximus.
“Oomm....siomay...Oom...” seorang anak remaja menghampiri Maximus yang baru keluar dari pintu mobilnya. “
Ooh...” Maximus sedikit terkejut, kemudian ia menatap remaja tersebut, “berapa?” ia bertanya.
“Sepuluh ribu isi 5 Om” kata anak itu dengan penuh harap agar dagangannya dibeli.
“Ok...saya beli 2 ya,” Maxi mengambil siomay tersebut dan menyerahkan uang Rp. 20.000,-.
Kemudian anak itu segera berlalu meninggalkan Maxi sendiri yang termenung memandanginya hingga menghilang di ujung jalan. Sambil memegang bungkusan siomay yang masih hangat, ia teringat masa kecil dulu. Saat ayahnya bersusah payah mengantarnya naik sepeda ke sekolah dengan membawa panci-panci berisi siomay di tangan kiri dan kanannya.
Tiba-tiba, kriiingggg.....kriinngg... “hallo...tuan Maxi?” terdengar suara seorang perempuan di ujung telepon memanggilnya.
“Yaaa...sus... ada apa?” Maxi menjawab dengan sedikit khawatir mendengar suara suster yang merawat ayahnya.
“Bapak...Tuan...tadi mengeluh sakit kepala, dan muntah-muntah” suara suster itu terdengar kecil sekali, “dan Bapak tadi tanya tentang Tuan, apakah Tuan ada telepon hari ini? Mungkin dia kangen sama Tuan, karena semalaman Bapak tidak tidur, hanya melihat-lihat foto Tuan saja. Tadi siang Bapak minta dibelikan siomay di pinggir jalan” suster itu menjelaskan dengan sedikit gemetar.
* * * * *
Selama ini aku salah mengerti Papa, yang diinginkannya ternyata bukan uang, kebahagiaannya ternyata bukan karena aku berhasil menjadi dokter tapi kehadiranku yang nyata yang dinantikannya. Melihat kondisi Papa yang terbaring lemah dengan muka pucat dan sepiring siomay di samping kasur yang sudah menipis, air mataku menetes. Setengah berbisik aku berkata “maafkan Maxi Pa...Maxi terlalu sibuk,” aku berlutut di samping ranjang papa, memegang tangannya yang kurus. Lama aku berlutut dan menyesali diri, kenapa aku membiarkan hal ini terjadi dan tidak peduli dengan perasaan papa selama ini.
“Maxi...,” suara papaku terdengar pelan. “Kapan kamu datang?” tanyanya sambil berusaha bangkit dan mengelus kepalaku. “Papa senang bisa melihat kamu datang, maafkan papa yang selalu mengganggu kesibukan kamu ya,” katanya dengan nada menyesal. “Engga pa...Maxi yang minta maaf... Maaf sudah membuat papa sedih. Kemudian tangannya memegang erat tanganku, dan kami berdua tersenyum haru, dan aku berjanji tidak akan membiarkan papa sendiri lagi.
Selamat hari Ayah.
Skenario by: Raymundus
SIOMAY
Dituliskan kembali oleh: tintin kristiana untuk Buletin PAROUSIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar